Pembatasan Sosial Berskala Besar di DKI Jakarta diperpanjang sampai 16 Juli 2020. Meskipun begitu, sejak sebulan yang lalu aktivitas di jalan sudah tampak kembali ke kenormalan lama. Artinya jalanan mulai macet, pasar sudah ramai, orang sibuk bersepeda di Car Free Day. Seolah merayakan bahwa covid-19 sudah berlalu. 


Kalau Freud melihat ini mungkin akan bilang “denial”, sebuah mekanisme pertahanan diri dengan menyangkal keadaan yang ada. Pandemi masih berlangsung. Bahkan jumlah kasus terus bertambah. Saat menulis artikel ini, jumlah kasus mencapai 63.749 kasus.  
Hasil tangkapan layar dari google


Hasil survei terhadap 150 ribu warga DKI pada tanggal 29 Mei- 20 Juni 2020 menunjukkan 15% warga DKI rela tertular Covid-19 demi ekonomi. 77% warga DKI menganggap potensi penularan covid-19 terhadap dirinya sangat minim. Orang-orang tampaknya sudah tidak mengindahkan imbauan pemerintah. Meskipun disuruh tetap di rumah atau memakai masker, tidak ada sanksi tegas bagi yang melanggar.

Hari ini ibunda salah satu rekan kerja meninggal dunia. Grup kantor bertanya apakah ada kelompok yang ingin melayat. Saya juga ditanya apakah akan ikut melayat. Normalnya mungkin iya. Tapi, di masa pandemi ini tidak sulit untuk mengatakan tidak. Pemakaman selalu menjadi tempat berkumpul banyak orang dan di situasi yang penuh emosi siapa yang bisa menahan untuk tidak bersalaman atau berpelukan. 

Kemaren juga ada acara kerja bakti bersama di kompleks. Sudah barang tentu saya absen. Bukan hanya karena saya bukan bapak-bapak atau ibu-ibu, tapi sekali lagi menghindari bertemu dengan orang lain. 

Pada waktu normal pun saya malas ketemu dengan orang lain. Berbasa basi itu menghabiskan banyak waktu dan energi, belum lagi menguras mental. Bagi INTJ, bertemu dengan orang lain terlalu melelahkan.

Tapi, di masa pandemi saya merasa terjustifikasi. Pada akhirnya kita harus bisa menjaga diri masing-masing. Apalagi untuk yang tinggal sendiri tanpa keluarga. Kemaren membaca twit dari seorang dokter tentang salah satu pasiennya yang dia anggap perlu dikasihani karena tidak didampingi keluarga pada saat idrawat karena covid-19. Bahkan untuk memasang ventilator pun harus tanda tangan sendiri. Saya melihat cerminan diri saya pada pasien tersebut. Meskipun tidak semenyedihkan yang diceritakan si dokter, karena dengan kesendiriannya si pasien menjaga keluarganya dari paparan virus. Ketika seseorang menjadi pasien covid-19, semestinyalah dia menjauh dari orang lain agar virus itu tidak menyebar. Kesendirian ini sendiri merupakan tindakan kepahlawanan.

Menjaga diri agar tidak tertular juga sebuah aksi heroik. Menahan diri untuk tidak keluar rumah sementara instagram teman-teman bertebaran foto-foto gowes, makan malam di mal, kongkow-kongkow di kedai kopi, itu sulit. Menolak ajakan untuk ke kantor, menjenguk orang sakit, dan melayat bisa membuat saya kehilangan poin pahala. Tapi, apakah harga untuk keluar rumah  pantas saya bayar jika akhirnya saya tertular (atau mungkin sudah tertular) dan menularkan kepada kepada orang lain?

Tidak. Dosanya terlalu besar untuk saya pikirkan. Untuk situasi saya, berada di rumah bisa dilakukan. Semoga teman-teman yang terpaksa keluar rumah bisa menjaga diri dan menjaga orang lain di sekitarnya. Mohon jangan ketemu saya dulu sampai pandemi berakhir.



Referensi:
15% Warga DKI Rela Tertular Covid-19 demi Ekonomi. Media Indonesia, 6 Juli 2020, hlm 6.

0 Comments