ter·se·rah. 
Kata  itu sering kita dengar dalam keseharian, baik dari laki-laki maupun perempuan. Menurut KBBI, terserah didefinisikan sebagai:
1 v sudah diserahkan (kepada); pulang maklum (kepada); tinggal bergantung (kepada): hal itu - kepada Anda; 
2 a masa bodoh: usul saya ini diterima atau tidak, -

Mengapa saya jadi teringat ini? Tadi siang kami mengundang salah satu mitra bestari jurnal yang saya kelola. Ia menyinggung bagaimana budaya kita ditunjukkan dari bahasa yang digunakan. Misalnya, "bisa...,tapi...", "insyaAllah", "saya mau, asalkan....".

Kesemuanya menunjukkan ketidakpastian. Orang Indonesia memang tidak berani mengambil keputusan, apalagi menanggung tanggung jawab atas keputusannya tersebut. Entah karena takut berbeda dengan pendapat orang lain, atau apa pun, masyarakat kita terbiasa memilih pilihan nyaman, yaitu yang di tengah-tengah. Ini salah satu ciri masyarakat kolektivisme menurut Hofstede (2011). Menurut sosiolog itu, masyarakat kolektivis cenderung menyesuaikan diri dengan perilaku yang ditampilkan anggota kelompoknya, sehingga menunjukkan ia bagian dari kelompok tersebut.

Dalam penulisan pun, kita selalu menghindarkan mengambil tanggung jawab pribadi. Oleh karenanya kita banyak menggunakan kata acuan "kami" meskipun yang menulis hanya satu orang. 

Penggunaan bahasa ini tercermin dalam perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari: atasan yang tidak mau bertanggung jawab jika ada yang menggugat pekerjaan bawahannya, tidak berani memutuskan sehingga proses musyawarah menjadi lama, jika ada yang vokal dan terus terang dianggap arogan, sulit menolak permintaan orang yang dihormati/lebih tua meskipun sebenarnya bertentangan dengan hati nurani, atau yang paling mudah saja: tidak mau memutuskan akan makan siang di mana.

Dalam komunitas kolektivis, orang yang tegas menunjukkan keinginannya merupakan perusak keharmonisan kelompok. Dia adalah yang pemberontak, sombong/arogan, atau mau menang sendiri. Orang ini tidak akan disukai di budaya sungkan dan mengharuskan kita malu-malu ini.

Saya menyadari rasa sungkan yang mengerangkeng pola komunikasi masyarakat kita ini akan menjadi batu kriptonite yang akan menghancurkan, karena:
  1. cenderung menerima ide  yang buruk tapi berasal dari mereka yang lebih tua atau berkuasa;
  2. membantu "penyelewengan" yang dilakukan karena takut menegur sehingga melanggengkan KKN;
  3. merusak organisasi karena group think yang lama dan tidak efisien; dan
  4. merusak diri sendiri karena pertentangan batin. 
Yang terakhir ini menyedihkan, terutama buat saya. Hati itu adalah pagar terakhir untuk mempertahankan integritas saya. Jika tidak sesuai dengan nurani, maka yakinlah itu bukan jalan yang baik. Pada akhirnya secuil rasa kemanusiaan inilah yang membuat saya bisa berdiri tegak bangga dan memiliki harga diri, bahwa saya bukan budak nafsu semata. Bahwa sebagai manusia dan peneliti memiliki integritas yang dapat saya pertanggungjawabkan.