Ada film pendek di Viddsee Juree Awards tentang anak desa yang ingin nonton ke bioskop untuk melihat film idolanya. Televisi di rumahnya sudah dijual dan dibelikan knalpot oleh kakaknya sehingga ia sering numpang menonton di rumah temannya. Itupun gambarnya tidak jernih. Mereka harus memutar-mutar tiang antenna agar dapat menangkap siaran tv.

Ah, soal putar memutar tiang antenna sudah khatam buatku. Di rumah kami juga seperti itu. Meskipun tv mamaku besar, tapi siaran tv-nya terbatas dan jarang yang bebas bintik-bintik. Meski begitu, tiap hari ia dihidupkan menemani keseharian orang-orang di rumah. Tidak jarang kami duduk di ruang keluarga memandangi layar itu. Bukan aktivitas yang mengesankan, tapi hampir setiap rumah melakukannya. Jarang sekali ada rumah yang tidak memiliki antenna tv, meskipun bangunannya tidak diplester. TV menjadi bagian penting dalam kehidupan orang di kota kecil tempat lahirku itu.
Mungkin karena tidak banyak yang bisa dikerjakan di sana, waktu luang pun melimpah. Para pekerja kantoran tidak berangkat sebelum matahari merekah, dan kembali sebelum ia tenggelam. Tidak jarang mereka menyempatkan mampir ke rumah untuk makan siang, atau menjemur pakaian, atau menjemput balita dari tempat penitipan anak. Orang-orang jarang berkeliaran di malam hari, karena sulitnya kendaraan umum dan minimnya tempat hiburan di luar. Akibatnya mereka betah menonton TV di rumah. Meski ada kebanggaan memiliki barang elektronik, TV tampaknya tidak bisa dijadikan pembeda mereka yang kaya dengan yang miskin. TV hanyalah kebutuhan pokok yang sudah diterima semua orang.

Oleh karena itu, banyak yang kaget mendengar tidak ada TV di rumahku sekarang. Sepertinya ada yang kurang jika di rumah tidak ada layar berbicara itu. Apakah ini berarti aku termasuk orang tak punya? (Tak punya tipi, ya).

Sampai tahun 2011, World Bank masih menggunakan indikator household with television sebagai salah satu tolok ukur perkembangan negara. Namun, sekarang World Bank tidak lagi memasukkan TV sebagai standar, melainkan akses terhadap telekomunikasi seperti telepon dan internet. Ini merupakan keselarasan dengan Tujuan no. 9 SDGs yang berfokus pada infrastruktur, industrialisasi, dan inovasi. Akses terhadap internet dan persentase pengguna internet aman dikumpulkan dalam sub-bab “the information society” menandakan pergeseran sumber informasi masyarakat dari TV (analog) ke perangkat digital.


Satu hal yang paling membedakan dua media tersebut sebagai sumber informasi adalah kebebasan untuk memilih informasi. Dengan sifat siaran TV yang satu arah, penonton berada pada posisi pasif hanya bisa menerima. Sementara itu, dengan internet penonton dapat memilih informasi yang diinginkan, mengecek informasi serupa pada saat yang sama, dan memberikan respons pada saat itu juga. Penonton memiliki lebih banyak daya tawar. 

Tidak heran dengan semakin meningkatnya teknologi internet, perangkat elektronik yang bersifat analog seperti TV mulai ditinggalkan. Toh, kita masih bisa menonton berita menggunakan internet di handphone dan tablet. Kedua perangkat ini menjadi penting karena dapat dibawa dengan ringkas ke mana-mana, sehingga dapat digunakan kapan saja. Orang tidak perlu lagi meluangkan waktu untuk duduk di depan TV karena sambil berkendara, berolahraga, masak, dll dapat dilakukan melalui gadget-nya. Kegiatan ini terlebih lagi sangat disukai mereka yang tinggal di kota, yang waktunya habis untuk bekerja (telah saya bandingkan dengan karyawan setara di daerah, pekerjaan di kantor saya jauh lebih banyak dan padat), berkomuter (2 jam pulang pergi minus macet? Yeah), atau bermain di luar (terlalu banyak tempat hiburan di kota dan tidak jarang yang buka 24 jam).

Jadi, apakah masih perlu TV?