Crazy Rich Asian bisa dibilang film yang paling ditunggu tahun ini oleh penonton Asia. Kisah orang tajir melipir Cina ini diperankan oleh semua artis keturunan Asia, membuatnya menjadi spesial sebagai suatu produksi Hollywood. Kabarnya kisah ini merupakan semi biografi si pengarang, Kenny Kwan ...eh Kevin Kwan (Kenny Kwan sih boyband jaman dulu...ketauan kan umur gue???) di Singapura.
Nah, ibarat gayung bersambut diriku yang belum pernah membaca ceritanya ini, tidak sengata menemukan novel tersebut di Gramedia Gancit siang tadi. Aih, banyak benar kerugian membeli buku di sana sih. Pertama, mehong. Kalau tahu ada tempat lain yang menjual lebih murah, rasanya agak rugi untuk mengeluarkan duit. Kedua, gak disampulin. Kasian kan buku gue. Meskipun mahal dan ga ada after sale service, tetap saja mereka raksasa toko buku di negeri ini. Huh.
Akan tetapi, besar kemungkinan gue gak bakal bisa keluar rumah ke toko buku favorit gue dalam beberapa minggu mendatang, sedangkan udah kebelet banget pengen tahu ceritanya. Jadi inilah dia, novel setebal 469 halaman yang sudah 24%nya gue baca sepulang dari kantor. Bahasanya ngalir, terjemahannya membumi dengan diselipi ungkapan bahasa Kanton yang menegaskan ciri khas Cina Singapura. *Sengaja gue pake istilah Cina alih-alih Tionghoa, karena selain di Indonesia mereka lebih gampang dikenali dengan kata Cina*

Kwan menggambarkan gaya hidup para konglomerat yang terbagi atas dua generasi: generasi old yang benci menghambur-hamburkan uang meskipun punya pohon uang sehektar, sedangkan generasi now adalah anak-anak mereka yang harus mendapat perhatian (padahal uang bapaknya, karir dirintisin orang tua, dll) publik dengan gaya glamornya. Jelas saja kedua generasi yang beda mazhab ini bisa berantem. Yang tua senengnya ngirit, ini seperti kebanyakan tampilan rumah orang Cina peranakan di kampung gue. Fasadnya kayak garasi, padahal harga tanah di kampung gak semahal di Ibukota. Tapi, jangan salah, isi rumahnya penuh dengan barang-barang elektronik paling hits (mungkin dipaksa anaknya buat beli). Orang-orang kaya Cina yang tua gak suka pamer, sedangkan generasi berikutnya merasa bahwa semua kemewahan adalah privilege dan harus ditonjolkan. Orang hanya akan menganggap kamu kaya jika kamu berlaku seperti orang kaya, begitu pikiran anak-anak borju ini.
Jika ini adalah keseharian orang kaya Cina di Singapura, maka tidak berbeda jauh dengan drama-drama idol Taiwan (ya ya, Meteor Garden dan teman-teman) dan Koreya.  Yang bikin cewek-cewek ngelap iler membayangkan suatu hari cowok dengan dompet tebal akan menjadikan mereka istri. Yang juga memberikan tujuan hidup bagi para cewek untuk menggaet cowok kaya supaya di kehidupan mendatang tidak perlu bekerja.
Kalau dilihat dari trailernya, konsep ceritanya berpusat pada Nicholas Young si profesor tampan yang membawa pacarnya profesor Rachel Chu ke Singapura untuk menghadiri pernikahan sahabatnya. Yang tidak dibayangkan Rachel adalah bahwa sang pacar ternyata anak dari taipan properti di negeri sebesar daun kelor itu. Tentu saja ini membuat Nicholas menjadi pacar paling hot (di mata para cici-cici negeri Singa), yang juga berati Rachel harus menghadapi “tantangan” (atau perundungan-seperti yang sering ada di drama-drama sejarah Cina..haha) dari keluarga Nicholas, terutama sang ibu, a.k.a calon mertua (kalau lolos ujian), a.k.a mama-tidak-mau-nick-main-dengan-cewek-matre.

Mama Nicholas ini kesal bukan main karena tiba-tiba anaknya mau bawa cewek ke rumah. Kenapa sekarang? Kenapa tidak pernah bilang sebelumnya? Kenapa? Apa salah ibu mengandung, nak?
Ngomong-ngomong si mama ini namanya Eleanor. Ia mulai mencari tahu semua informasi mengenai Rachel. Daaaan the power of emak-emak telah memberikan dia setumpuk gosip yang bikin Eleanor makin ilfil sama calon mantu ini.

Inilah yang bikin gue kasian dan merasa bersyukur masih punya cara untuk membuat gue tetep waras.  Kevin Kwan menggambarkan kehidupan membosankan ibu-ibu rumah tangga yang super mewah ini: main-main ke Paris, jalan-jalan ke butik, ikut klub religius yang setengahnya adalah ajang bergosip, hanya untuk disalahkan oleh ibu mertua. Biarpun duitnya banyak, tapi sedikit riak aja bisa bikin guncang dunianya. Extra lebay. Biar punya duit yang kalau disebarin bisa nutupin Orchard Road, tapi lakinya ga peduli, malah milih tinggal di Australia. Sedih gak sih?
Yang bikin gue ngakak adalah ketika mereka merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain-bahkan orang Cina lain. Orang Taiwan dianggap matre, orang Cina Daratan dibilang kampungan. Padahal nenek moyangnya Cina peranakan kan berasal dari Cina daratan juga. Hihi.

Dan dalam pergolakan pergaulan horang kayah ini, penting banget acara saling pamer—atau istilahnya di dorama First Class adalah mounting—membuat peringkat kualitas. Kalau ada yang menikah, bukan kebahagiaan bersatu dengan yang terkasih yang menjadi utama, tapi baju apa yang dikenakan. Semakin mahal (dan harus baru) maka artinya semakin menghormati yang punya gawe. Di sisi lain, tamu-tamu yang bajunya kurang wow jadi ejekan. Apalagi yang pake baju yang pernah dikenakan di pesta sebelumnya. Whoaaah, bisa bikin panitia senewen.

Sekarang gue ngerti kenapa para cici dan koko di instagram harus prewed ke luar negeri. They're forced to turn their lives into circus.