Crazy Rich Asian: kisah tentang Horang Kaya Cina
Crazy Rich Asian bisa dibilang film yang paling ditunggu tahun ini oleh penonton Asia. Kisah orang tajir melipir Cina ini diperankan oleh semua artis keturunan Asia, membuatnya menjadi spesial sebagai suatu produksi Hollywood. Kabarnya kisah ini merupakan semi biografi si pengarang, Kenny Kwan ...eh Kevin Kwan (Kenny Kwan sih boyband jaman dulu...ketauan kan umur gue???) di Singapura.
Nah, ibarat gayung bersambut diriku yang belum pernah membaca ceritanya ini, tidak sengata menemukan novel tersebut di Gramedia Gancit siang tadi. Aih, banyak benar kerugian membeli buku di sana sih. Pertama, mehong. Kalau tahu ada tempat lain yang menjual lebih murah, rasanya agak rugi untuk mengeluarkan duit. Kedua, gak disampulin. Kasian kan buku gue. Meskipun mahal dan ga ada after sale service, tetap saja mereka raksasa toko buku di negeri ini. Huh.
Kwan menggambarkan gaya hidup para konglomerat yang terbagi atas dua generasi: generasi old yang benci menghambur-hamburkan uang meskipun punya pohon uang sehektar, sedangkan generasi now adalah anak-anak mereka yang harus mendapat perhatian (padahal uang bapaknya, karir dirintisin orang tua, dll) publik dengan gaya glamornya. Jelas saja kedua generasi yang beda mazhab ini bisa berantem. Yang tua senengnya ngirit, ini seperti kebanyakan tampilan rumah orang Cina peranakan di kampung gue. Fasadnya kayak garasi, padahal harga tanah di kampung gak semahal di Ibukota. Tapi, jangan salah, isi rumahnya penuh dengan barang-barang elektronik paling hits (mungkin dipaksa anaknya buat beli). Orang-orang kaya Cina yang tua gak suka pamer, sedangkan generasi berikutnya merasa bahwa semua kemewahan adalah privilege dan harus ditonjolkan. Orang hanya akan menganggap kamu kaya jika kamu berlaku seperti orang kaya, begitu pikiran anak-anak borju ini.
Mama Nicholas ini kesal bukan main karena tiba-tiba anaknya mau bawa cewek ke rumah. Kenapa sekarang? Kenapa tidak pernah bilang sebelumnya? Kenapa? Apa salah ibu mengandung, nak?
Ngomong-ngomong si mama ini namanya Eleanor. Ia mulai mencari tahu semua informasi mengenai Rachel. Daaaan the power of emak-emak telah memberikan dia setumpuk gosip yang bikin Eleanor makin ilfil sama calon mantu ini.
Inilah yang bikin gue kasian dan merasa bersyukur masih punya cara untuk membuat gue tetep waras. Kevin Kwan menggambarkan kehidupan membosankan ibu-ibu rumah tangga yang super mewah ini: main-main ke Paris, jalan-jalan ke butik, ikut klub religius yang setengahnya adalah ajang bergosip, hanya untuk disalahkan oleh ibu mertua. Biarpun duitnya banyak, tapi sedikit riak aja bisa bikin guncang dunianya. Extra lebay. Biar punya duit yang kalau disebarin bisa nutupin Orchard Road, tapi lakinya ga peduli, malah milih tinggal di Australia. Sedih gak sih?
Dan dalam pergolakan pergaulan horang kayah ini, penting banget acara saling pamer—atau istilahnya di dorama First Class adalah mounting—membuat peringkat kualitas. Kalau ada yang menikah, bukan kebahagiaan bersatu dengan yang terkasih yang menjadi utama, tapi baju apa yang dikenakan. Semakin mahal (dan harus baru) maka artinya semakin menghormati yang punya gawe. Di sisi lain, tamu-tamu yang bajunya kurang wow jadi ejekan. Apalagi yang pake baju yang pernah dikenakan di pesta sebelumnya. Whoaaah, bisa bikin panitia senewen.
Sekarang gue ngerti kenapa para cici dan koko di instagram harus prewed ke luar negeri. They're forced to turn their lives into circus.
0 Comments