Dikejar monyet di Grojogan Sewu
Meski sudah lama mendengar namanya, baru bulan lalu gue menyempatkan diri ke sana. Dari kota Solo kami harus berkendara ke Tawangmangu sekitar 1,5 jam. Solo sendiri tidak punya objek wisata alam yang bisa dibanggakan, jadi kalau mau mencari udara segar sebaiknya ke luar kota. Solo tempatnya bangunan bersejarah, tapi kota itu sendiri sudah sangat padat...dan panas. Untungnya suhu udara Grobogan Sewu menyejukkan. Apalagi pagi itu awan hitam menggelayut di langit dengan hanya menyisakan sedikit sinar matahari.
Sejujurnya, gue tidak membayangkan seperti apa Grojogan Sewu ini. Meskipun dalam kepala terngiang-ngiang angka seribu. Mungkinkah anak tangganya ada seribu? oooh, tetiba teringat Air Terjun Sipiso Piso di Sumatera Utara yang bisa bikin encok. Ternyata, Grojogan dalam bahasa Jawa berati "air terjun". Nama Grojogan Sewu memang sedikit hiperbola, yang ingin menunjukkan bahwa air terjun ini memiliki banyak titik air terjun.
Air terjun ini dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan BKSDA Jawa Tengah. Puncak tertingginya 81 meter, dikelilingi hutan yang rimbun. Untuk mencapai air terjun kami harus menaiki anak tangga yang licin karena lumut dan hujan. Untungnya sopir kami memilihkan rute yang paling singkat di antara 2 rute yang tersedia. Udaranya-MasyaAllah-segaaaaar! *tarik nafas dalam-dalam*
Tidak banyak pengunjung pada hari Jum'at itu, karena memang bukan musim liburan. Tapi, di perjalanan mendaki kami sempat bertemu bapak petugas yang mencabuti rumput di tangga, ular mungil yang menari-nari, dan ular bulu yang tidak terburu-buru. Di sebuah kolam ada patung pertarungan katak dan ular kobra yang entah apa maknanya. Akan lebih menarik jika pengelola menambahkan cerita di balik patung-patung ini.
Secara keseluruhan, taman wisata alam ini rapi tapi kurang informasi. Meskipun daya tarik utamanya adalah air terjun, tapi akan lebih informatif jika setiap tanaman yang ada diberikan keterangan. Siapa tahu dalam 20 tahun ke depan tanaman-tanaman ini akan punah? XD. Na'udzubillahi min zalik ya.
Setelah berjalan sekitar 30 menit dengan sepatu licin (sebaiknya bawa sneaker deh), akhirnya kami melihat air yang berbuih-buih itu. Di depannya ada jembatan yang menjadi lokasi foto favorit. Dua mas-mas sibuk menjepret dirinya dengan berbagai gaya. Kami menunggu 10 menit sebelum akhirnya mereka pindah lokasi. Dari jembatan ini air terjun tampak paripurna. Percikannya membasahi kami, tapi sesi berfoto harus tetap jalan, kan? Di bawah sekelompok ibu-ibu bergamis lebar membawa anaknya untuk mencicipi air. Mereka tidak sungkan-sungkan masuk ke air. Sebenarnya kondisi di sini lebih kondusif untuk maen air, dibandingkan di Tiu Kelep (Gunung Rinjani) yang penuh bule. Tapi, gue dan teman-teman tidak bawa baju ganti. Kami cukup logis memutuskan hanya berfoto-foto. Jalan dengan pakaian basah sangat tidak nyaman, kan?
Hey, kami belum puas berfoto tiba-tiba seekor monyet muncul di ujung jembatan, langsung berlari menuju kami. Monyet itu masih kecil tapi tampak garang. Aaaaah, kenapa ini. Monyet-monyet di lokasi wisata biasanya agresif. Di Panorama, Bukittinggi, monyet bisa merebut minuman yang sedang dipegang pengunjung. Di Banjarmasin gue dan si kakak pernah dikejar monyet yang lompat dari Pulau Kembang ke kapal kami. Kalau diingat sekarang memang lucu, tapi pada waktu kejadian kami benar-benar takut. hahaha. Ada apalah daya tarik kami bagi monyet ya. Please deh, nyet.
0 Comments